Monday, December 8, 2014

Lihatlah Kami di Mentawai

Waktu gw pertama kali ke Mentawai, yang ada di pikiran gw tuh alamnya indah, pantainya indah, makanannya lezat2, jalan menuju pantai satu ke pantai lain gampang, akses ke airport gampang, ke dermaga gampang, banyak speed boat, dll.

Alam indah dan pantai putih bersih sih memang tiada duanya, kalau gw boleh jujur, pantainya paling indah dibanding pantai-pantai terkenal di Indonesia yang pernah gw kunjungi.



Kebetulan gw ke Pulau Sipora (5-8 Oktober 2014), tepatnya di Kota Tua Pejat, Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Mentawai (awalnya sih gw kira ke Pulau Siberut, pulau paling besar di Mentawai dan menjadi rumah bagi warga asli Mentawai yang masih mempertahankan kehidupan tradisionalnya di hutan).

Perjalanan ke Sipora dari Kota Padang lumayan cepat, sekitar 3 jam (kalau cuaca bagus) naik kapal cepat MV Mentawai Fast berkapasitas 250 orang. Sehari sekali (PP), dari Padang Muaro pagi jam 7, dari Sipora sore jam 3). Kapal Mentawai Fast ini baru beroperasi sekitar Mei 2014 lalu. Kayaknya sih perlu lebih banyak kapal cepat seperti Mentawai Fast ini kalau melihat animo masyarakat dan juga wisatawan yang ingin berkunjung ke pulau Mentawai.

Bisa juga naik kapal biasa, tapi perjalanan bisa lebih lama, sekitar 10 jam. Kalau terburu2 atau terpaksa harus menyeberang tapi ketinggalan kapal, bisa menyewa kapal motor berukuran kecil, kira2 mampu menampung 20an orang dewasa kali ya. Kapal ini biasanya hanya untuk melayani penyeberangan ke pulau-pulau kecil di Kepulauan Mentawai, atau juga kadang disewa peselancar untuk mencari ombak ke tengah lautan (Teleskop spot misalnya). Tapiiiii, siap2 kaget, biayanya muaaahal, sekali jalan (Sipora-Padang) Rp 10 JUTA! Nah, cukup dah tuh untuk beli motor bebek baru (tambahin Rp 2 juta lagi kali ya).

Kalau ingin cepat, bisa juga naik pesawat capung milik Bu Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Air berkapasitas 11 penumpang. Jadwal penerbangnya, Minggu (siang), Selasa (pagi) dan Kamis (pagi). Tapiiiiii..... penerbangan ini hanya melayani rute Bandara International Minangkabau-Bandara Siuban-Sipora, Pulau Sipora. Perjalanan sekitar 35 menit, bisa sekitar 45-60 menit kalau cuaca kurang bagus dan pesawat memutar agak jauh.

Setelah mendarat di Bandara Rokot Sipora terus gimana? Nah ini dia! (macam rubrik paling hot di Pos Kota), setiba di Bandara Sipora yang di kanan kiri runway dipenuhi rumput ilalang setinggi rumah, bisa menggunakan jalan darat untuk menuju Tua Pejat dan sekitarnya. Kalau mau ke pulau lain, bisa menggunakan kapal, dermaganya ada di dekat bandara, sekitar 500 meter dari bandara. Kalau lagi sial, misalnya hujan lebat dan jalan darat terputus karena lumpur, untuk menuju Tua Pejat juga bisa menggunakan kapal motor kemudian merapat di Pelabuhan Tua Pejat.

Untuk keliling Pulau Sipora, ada angkot yang beroperasi dari pagi hingga menjelang sore. Rutenya juga terbatas, tidak ada angkutan kota antar pulau atau dari ujung utara Pulau Sipora ke ujung selatan pulau. Waktu di sana, gw sih belum nemuin ada penyewaan khusus motor trail atau kendaraan off road 4X4 (jadi ini sebenarnya peluang bagus untuk bisnis di sana). Kebetulan gw pinjem motor trail pegawai Pemkab. Menarik juga  keliling Pulau Sipora, terutama ke kampung-kampung. Kita masih bisa melihat banyak rumah-rumah khas masyarakat Mentawai, yakni rumah panggung dengan dinding kayu atau anyaman bambu dan beratap daun rumbia. Mereka juga banyak yang memelihara babi.

Bagi yang beragam Nasrani, ada begitu banyak gereja di Pulau Sipora. Setiap desa pasti memiliki gereja. Untuk yang muslim, jangan khawatir, ada mesjid besar di Tua Pejat.

Selama tiga hari di Pulau Sipora, gw sempet main ke salah satu spot terbaik untuk surfing di Pulau Sipora, nama areanya Teleskop. Letaknya persis di sisi utara Pulau Sipora, berseberangan dengan Pulau Awera. Kira-kira 20 menit nyebrang dari Pulai Sipora ke Pulau Awera dengan speed boat. Di Pulau Awera ini juga terdapat resort-resort kecil yang dikelola penduduk lokal. Ada juga sih yang dikelola pemodal asing, tapi pemiliknya tetap atas nama WNI.

Spot Teleskop terletak sekitar 1-2 km dari tepi pantai. Ombaknya panjang dan tingginya bisa mencapai 3 meter. Pagi mulai jam 9 spot ini sudah ramai. Ada juga yang nekad surfing sampai malam sekitar jam 7an dengan bantuan lampu penerangan dari kapal yang mereka sewa. "Malam bukan soal, yang penting mereka dapat ombak (besar)," kata Kepala Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kepulauan Mentawai, Desti Seminora, yang sempat mengajak saya untuk makan ramai-ramai gelar tikar di pasir putih Pantai Awera.

Kebetulan, di tepi Pantai Awera ini Ibu Desti punya resort dengan sejumlah kamar lho. Saat ini resortnya belum siap karena masih mencari tenaga pengelolanya. Menjelang malam, HOROR pun datang! Bukan model film horor Anabelle yang lagi ngetrend itu ya, tapi nyamuk hutan segede gaban yang menyerang gw. Hadew, gatal2 perih lah kulit. Pakaian saja tembus lho. Di resort Ibu Desti yang belum jadi ini gw dijamu makanan khas Mentawai, ya ada nasi (kayaknya jenis beras dari Solok karena teksturnya mirip nasi perak tapi ngga keras dan enak banget) disajikan dengan rendang, ikan asin lado ijo, terong lado ijo, ikan laut goreng, ayam goreng, dan sebagainya. Minumanya? Di sini banyak pohon kelapa, diambillah beberapa kelapa muda yang segarnya aduhai lah pokoknya.

Air laut di Pantai Periran Pulau Sipora sama sekali ngga dingin. Gw bilang sih malah anget meski di malam hari. Mungkin karena air laut yang hangat ini membuat peselancar betah berlama-lama main di laut.

Bagaimana dengan makanan? Oh iya, menurut pegawai Pemkab, teman saya, 60 persen penduduk Mentawai menganut agama Kristen Protestan, 30 persen muslim dan 10 persen Kristen Katolik. Di beberapa bagian, terutama di kampung-kampung, masyarakat Mentawai mengkonsumsi sagu sebagai makanan utama. Mereka juga mengkonsumsi keladi (semacam talas bogor gitu) yang ditanak maupun digoreng tepung. Rasanya legit! Biasanya dihidangkan dengan pisang goreng. Oh iya, pisang di Mentawai merupakan komoditi unggulan bersama kopra dan dikirim ke luar pulau (ke Padang). Pisang di Mentawai rasanya manis sekali.

Nah, untuk yang muslim, Rumah Makan Padang mungkin bisa dijadikan pilihan. Menurut teman gw yang sudah menjadi pegawai Pemkab dua tahun belakangan ini, di sejumlah daerah, terutama di daerah-daerah terpencil, sagu biasanya dihidangkan dengan babi (bisa daging babi goreng, bakar, panggang, dan lain sebagainya). Menjelang sore, atau pagi hari, sejumlah perkampungan di tepi pantai juga ramai akan ikan laut hasil tangkapan nelayan tradisional. Nah, bakar ikan laut segar yang baru mendarat tentu menyenangkan. Rasanya dijamin yahuttt, gurih, manis, enak, legit, tiada duanya lah.

Moga-moga ada bumbu dampur, termasuk bawang cabai rawit dan bawang merah, untuk bikin bumbu oles dan sambal ikan bakar ya. Maklum, di waktu-waktu tertentu, saat cuaca buruk, pasokan sayuran dan bumbu dari Padang dijamin telat karena tidak ada kapal yang bersandar. Nah, kalau sudah begini, jangankan cabai rawit dan bawang merah, BBM untuk generaton listrik PLN bisa saja tak terkirim. Maka jangan heran kalau ombak lagi tinggi dan angin bertiup kencang selama berhari-hari, Pulau Siberut gelap gulita karena tidak ada listrik. Di sebagian wilayah (setahu gw sih baru di Tua Pejat) sudah mulai memanfaatkan lampu penerangan jalan dengan tenaga solar cell. Jadi mesik pasokan listrik PLN byar pet pet petttt, lampu solar cell ini tetap menyala. Lumayan kan?

Kisah sedihnya lagi, bagi penggemar nasi, sangat mungkin sekali terpaksa makan makanan lain seperti keladi, sagu, singkong dan pisang. Karena, ketika beras di Pulau Mentawai habis dan pasokan beras di Padang terlambat, ya tidak ada nasi di Pulau Mentawai. Lantas berapa total kebutuhan beras di Pulau Mentawai yang berpenduduk sekitar 68 ribu jiwa? Menurut Kepala Dinas Pertanian Kab. Kep. Mentawai, Novriyadi, kebutuhan beras di Pulau Mentawai per tahun mencapai 5.500 ton. Sementara produksi beras lokal baru 3.300 ton per tahun. Sisanya didatangkan dari Padang, bersama kebutuhan sayuran dan bumbu-bumbuan.

Ketemulah gw dengan Pak Bupati Kab. Kep. Mentawai, Yudas Sabaggalet. Nanya sana sini soal padi ini. Kata Pak Bupati, Pulau Mentawai saat ini memiliki sekitar 1.100 hektare sawah dari total kebutuhan sekitar 1.700 hektare yang tersebar di lima kecamatan di Pulau Siberut dan Pulau Sipora. "Baru 25 persen masyarakat Mentawai yang makan nasi. Sisanya masih makan sagu, keladi dan pisang," kata Pak Bupati.

"Kalau beras di Pulau Mentawai habis dan pasokan dari Padang terlambat, kami tidak bisa makan nasi," kata Yudas yang sampai saat ini masih suka mengkonsumsi sagu, makanan utamanya ketika masih kanak-kanak dulu.

Oh iya, di malam terakhir sebelum gw balik ke Jakarta, gw sempet bakar ikan laut segar hasil tangkapan nelayan. Ikannya benar-benar masih segar, baru turun dari kapal sore itu. Nah, masalah muncul ketika ingin membuat bumbu. Karena cuaca kurang bagus dlm beberapa hari terakhir, kapal yang membawa bahan makanan dan bumbu dari Padang tidak ada yang merapat. Bumbu di dapur Ibu Desti pun menipis, bahkan untuk cabai rawit dan jeruk nipis saja tidak ada.

Jadilah gw sore-sore gerimis muterin Tua Pejat naik motor trail. Ngeeenggggg... Gw menjelajah dari warung ke warung nyari cabai rawit dan jeruk nipis. Akhirnya dapat juga, tapi cuma cabai rawit, itupun yang cabai rawit hijau. Yah, daripada ngga ada rasa pedasnya, tak apalah. Jeruk nipis kosong jek. Tuh kan, benar kata Pak Bupati, kalau cuaca jelek, angin kencang dan ombak tinggi, tidak ada pasokan bahan makanan dari Padang. Sialnya, penduduk di Pulau Sipora masih sangat-sangat jarang menanam cabai rawit dan sayuran. Kalaupun ada yang menanam, itu biasanya untuk dikonsumsi sendiri.

Coba, berapa tahun Indonesia sudah merdeka? Bagaimana kondisi Pulau Mentawai yang diklaim sebagai surga para surfer bule? Gw iseng-iseng nanya ke sejumlah nelayan dan pedagang yang ada di pinggiran Tuapejat, "Kalau Jokowi jadi Presiden, apa yang bapak2 inginkan untuk Mentawai?" Nah, 90 persen dari sekitar 10an penduduk yang gw tanya itu serempak jawab, "Kami berharap Pak Jokowi mau singgah ke Mentawai, melihat langsung kondisi pulau paling barat dari Indonesia. Setelah melihat, pasti Pak Jokowi tahu apa yang harus dilakukan."

Kira-kira begitu harapan masyarakat Mentawai. Tak kurang dan tak lebih, tapi intinya, mereka ingin seperti Kota Padang. Akses jalan mudah, ekonomi masyarakatnya maju, sekolah maju, pokoknya mereka tidak ingin ketinggalan dari Padang.

Doa saya, semoga mimpi saudara-saudara di Mentawai bakal segera terwujud. Amin....

2 comments:

  1. Bro, bisa add profile Facebook aku? Pengen nanya2 dikit soal mentawai, soalnya pengen mancing disana. Dux Fish di FB. Trims.

    ReplyDelete
  2. Artikel nya bagus pak..boleh tanya2 pak? Krn sy mau bertugas di mentawai 6 bln ke depan..mhn Minta nomer WA nya pak? WA sy :089619182621...terimakssh

    ReplyDelete